Sabtu, 28 April 2012

PERSEDIAAN MINIMUM KAS SEBAGAI ALAT UNTUK MENJAGA TINGKAT LIKUIDITAS & PROFITABILITAS


PERSEDIAAN MINIMUM KAS SEBAGAI ALAT UNTUK MENJAGA TINGKAT LIKUIDITAS & PROFITABILITAS
Oleh : Dyah Kusumawati

ABSTRACT

     Setiap perusahaan dalam menjalankan usahanya selalu membutuhkan kas. Kas sangat berperan dalam pemenuhan kewajiban finansial terutama untuk jangka pendek. Oleh karena itu perusahaan harus memiliki persediaan kas agar terjaga tingkat likuiditasnya sehingga tidak terjadi adanya kekurangan kas. Namun perlu diketahui bahwa menyimpan kas yang terlalu besar pun bukan suatu tindakan yang bijaksana karena akan menimbulkan biaya peyimpanan dan profitabilitas usaha terabaikan.
     Melalui perhitungan yang benar yaitu dengan analisa persediaan minimum kas, ratio likuiditas dan ratio profitabilitas diharapkan perusahaan memiliki persediaan kas yang cukup dan aman sehingga dapat menjamin likuiditas usaha dan sekaligus dapat mencapai profitabilitas yang optimal.

Keywords : kas, likuiditas, profitabilitas

A.   PENDAHULUAN
Suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya selalu membutuhkan kas, baik aliran kas masuk maupun aliran kas keluar. Penerimaan dan pengeluaran kas akan berlangsung terus menerus selama hidup perusahaan. Kas merupakan bagian dari harta perusahaan yang paling lancer/ likuid. Kas meliputi uang tunai, baik kertas maupun logam, cek, dan sebagainya yang dapat diterima umum sebagai alat pembayaran suatu transaksi.
 Setiap perusahaan mempunyai tujuan mencari laba yang besar. Untuk melaksanakan kegiatannya perusahaan memerlukan bantuan pihak lain (pinjaman) untuk menambah modal usaha. Akibatnya perusahaan mempunyai kewajiban mengembalikan pinjaman itu dan sekaligus tetap berupaya mencapai tujuannya. Sehubungan dengan itu maka perusahaan harus mempunyai persediaan kas yang jumlahnya cukup, artinya kas tidak terlalu besar atau terlalu kecil supaya dapat memenuhi kewajibannya dan dapat mencapai laba yang diinginkan.
Dewasa ini banyak perusahaan/ lembaga/ badan-badan usaha yang di dalam menjalankan usahanya hanya berpikir bagaimana kondisi kas yang ada dapat menjaga likuiditas usaha atau profitabilitas usaha saja. Mereka hanya berfikir bagaimana keuangan perusahaan dalam kondisi aman tetapi ternyata hanya dari satu sudut pandang saja. Padahal kondisi seperti itu bukanlah kondisi yang aman bagi kuangan suatu usaha. Kita bisa melihat/ mendengar begitu banyak pemberitaan mengenai perusahaan besar/ lembaga-lembaga bank/ badan-badan usaha yang mampu mencapai tingkat profitabilitas tinggi, membangun gedung-gedung usaha mewah, merekrut banyak tenaga kerja dan mengembangkan usaha di bidang lain tetapi pada akhirnya ternyata mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya membayar pinjaman bank/ rekanan usaha, membayar gaji pegawai. Bahkan usaha mereka berhenti mendadak karena tiba-tiba tidak ada dana untuk operasional usaha. Sebaliknya, ada juga perusahaan yang dapat menjaga likuiditas usaha tetapi profitabilitasnya tidak tercapai sehingga pada akhirnya juga gagal dalam usahanya karena perputaran modal usaha yang kurang baik.
Oleh sebab itu dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana persediaan minimum kas yang benar, yang dapat menjaga tingkat likuiditas dan sekaligus tingkat profitabilitas usaha.
B.   PEMBAHASAN
Kas sangat berperan dalam pemenuhan kewajiban finansial jangka pendek perusahaan atau untuk membiayai berbagai hal yang sebelumnya tidak terduga akan muncul. Kalau perusahaan tidak menyimpan kas yang cukup maka perusahaan akan sulit untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Akibatnya perusahaan akan dinilai buruk dan dinyatakan dalam keadaan tidak likuid. Hal ini akan mempengaruhi citra perusahaan dan menghilangkan kepercayaan pihak lain terhadap perusahaan.
Di lain pihak, menyimpan kas dalam jumlah yang berlebihan mengakibatkan perusahaan tidak dapat mencapai tingkat profitabilitas yang optimal, yaitu tingkat keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh perusahaan bila perusahaan dapat memanfaatkan kas yang berlebihan itu untuk melaksanakan altivitas usaha. Kas yang dibiarkan menganggur juga akan menimbulkan biaya peyimpanan.
Untuk menentukan berapa jumlah kas yang sebaiknya harus dipertahankan oleh suatu perusahaan belum ada standar ratio yang pasti tetapisecara umum ada pedoman yang dapat digunakan seperti yang dikemukakan oleh H.G. Guthmann, yaitu jumlah kas yang ada dalam perusahaan “Well Finance” hendaknya tidak kurang dari 5% - 10% dari aktiva lancar (Bambang Riyanto, 1994:86). Jumlah kas ini berhubungan dengan jumlah penjualan. Perbandingan antara penjualan dengan jumlah kas rata-rata menggambarkan tingkat perputaran kas. Semakin tinggi tingkat perputaran kas berarti kondisi perusahaan semakin baik karena hal itu berarti penggunaan kasnya semakin efisien. Namun, tingkat perputaran kas yang berlebihan dapat berarti jumlah kas yang tersedia terlalu kecil.
1.   Persediaan Minimum Kas
Kas adalah uang beserta pos-pos lain yang dalam jangka waktu dekat dapat diuangkan sehingga dapat dipakai sebagai alat untuk membayar kebutuhan finansialnya (Indriyo, 1980:37). Dalam kegiatannya sehari-hari, perusahaan harus mampu membayar biaya-biaya operasional, gaji pegawai, pelunasan hutang yang jatuh tempo pada pihak lain, dan hal-hal yang bisa saja terjadi di luar perkiraan pada saat itu. Jika uang tunai tidak ada maka operasi perusahaan akan terhenti dan yang paling membahayakan adalah perusahaan tidak dipercaya lagi oleh pihak lain sehingga menyulitkannya untuk memperoleh kredit.
Melihat arti pentingnya kas maka persediaan minimum kas harus selalu ada dalam perusahaan. Persediaan minimum kas dapat diartikan sebagai jumlah minimal yang harus dipertahankan oleh suatu perusahaan agar dapat memenuhi finansialnya sewaktu-waktu (M. Manullang, 1985:23). Besarnya jumlah kas yang harus ada dalam perusahaan tergantung pada tiga motif, yaitu :
a.  Motif transaksi.
Suatu perusahaan membutuhkan uang kas untuk membangun transaksi harian.
b.  Motif Spekulasi.
Memegang uang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari kenaikan harga barang atau nilai uang itu sendiri.
c.  Motif Berjaga-jaga.
Karena keadaan yang tidak pasti maka perusahaan harus berjaga-jaga untuk menjamin likuiditas perusahaannya terutama bila penerimaan kas tidak seperti yang direncanakan.
Menurut Walker, motivasi-motivasi untuk menahan uang kas selalu dimiliki oleh perusahaan. Dalam menahan uang kasnya terlepas dari apakah perusahaan itu besar/ kecil, perusahaan dagang/ industri dan lokasi perusahaan (Wasis, 1981:182). Usaha untuk mendapatkan kas yang ekonomis salah satunya melalui sinkronisasi aliran kas, yaitu penerimaan dan pengeluaran kas diatur sedemikian rupa sehingga meninggalkan sisa kas yang minim.
Untuk menentukan berapa sebaiknya jumlah kas yang harus dipertahankan oleh suatu perusahaan tergantung kebijaksanaan perusahaan masing-masing. Namun secara umum penetapan persediaan minimum kas dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut (menurut Asri, 1987:255) :
a.  menentukan tingkat perputaran kas dalam satu tahun (dalam hari) kemudian membandingkan jumlah hari tersebut dengan jangka waktu perputaran kas.
- Jangka waktu perputaran kas =    penjualan per tahun
                                       jumlah kas
- Tingkat perputaran kas  =             360 hari     
                                 Jgk wkt perputaran kas
b.  menentukan besarnya persediaan minimum kas yang merupakan hasil pembagian total pengeluaran kas dalam satu tahun dengan tingkat perputaran kas.
- Persed. min. kas = total pengeluaran kas per tahun
tingkat perputaran kas
Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi persediaan minimum kas adalah besarnya kewajiban yang harus dibayar, pengeluaran-pengeluaran  dan penerimaan kas, jangka waktu perputaran kas dan tingkat perputaran kas.
2.  Likuiditas
Likuiditas berasal dari kata likuid yang berarti cair, sehingga dapat diartikan sebagai alat untuk mengukur tingkat kecairan dari aktiva lancar terhadap hutang lancar yang harus segera dipenuhi. Ini menggambarkan kesanggupan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan yang segera jatuh tempo atau mengukur kemampuan membayar hutang-hutang yang sudah jatuh tempo.
Ada juga mengartikan bahwa likuiditas adalah kemampuan perusahaan memenuhi seluruh kewajibannya yang harus segera dibayar (Alex Nitisemito, 1987:28). Alat-alat untuk memenuhi kewajiban itu berupa aktiva lancar yang jumlahnya harus lebih besar daripada passiva lancar supaya terpenuhi tingkat likuiditasnya.
Bila perusahaan tidak dapat menjaga likuiditas terhadap pihak ekstern maka akan menghilangkan kepercayaan pihak luar terhadap perusahaan. Akibatnya akan sulit bagi perusahaan untuk mengembangkan dirinya sebab mereka akan kesulitan memperoleh kredit dari bank, penjual bahan mentah/ supplier, perusahaan transport atau pihak lain.
Sebaliknya bila likuiditas intern tidak terjaga maka kesulitan akan muncul dengan terjadinya kemacetan operasi perusahaan. Likuiditas perusahaan dapat terganggu karena :
a.  Kekurangan modal kerja
b.  Kesalahan dalam pembelanjaan (banyak bahan baku yang dibeli, banyaknya piutang yang diberikan, dan sebagainya)
c.  Mental pengusaha yang kurang baik (mengejar keuntungan jangka pendek dan melupakan tujuan jangka panjang)
d.  Kesalahan perhitungan/ hal-hal lain di luar perkiraan
Untuk menjaga tingkat likuiditas, perusahaan dapat menggunakan perhitungan Ratio Likuiditas, yang terdiri atas :
1)  Current Ratio (CR)
Current Ratio adalah perbandingan antara Current Assets dengan Current Liabilities. Perusahaan hendaknya menetapkan CR-nya sebesar 2:1 karena ukuran ini didasarkan pada prinsip kehati-hatian, yaitu bila Current Assets berkurang hingga 50% maka likuiditas masih dapat dipertahankan.
CR   =   current assets   X 100%
       current liabilities
2)  Quick Ratio (QR) atau Acid Test Ratio (ATR)
Quick Ratio dianggap ratio yang lebih teliti sebab persediaan yang tingkat likuiditasnya paling rendah tidak diikutkan dalam perhitungan. Jadi Quick Ratio adalah perbandingan antara Current Assets (tanpa persediaan) dengan Current Liabilities.
QR   = (current assets – inventory)  X  100%
            current liabilities
Likuiditas sebenarnya dapat ditingkatkan  atau dinaikkan, yaitu dengan cara :
a. menambah aktiva lancar dengan cara menjual sebagian aktiva tetap dan menambah modal sendiri.
b. mengurangi hutang lancar dengan menjual sebagian aktiva tetap, menambah modal sendiri, mengubah status menjadi hutang jangka panjang atau dengan mengurangi aktiva lancar.
3.      Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan modal yang digunakan dan dinyatakan dalam prosentase (%) (Alex Nitisemito, 1987:45). Ini dapat diartikan sebagai kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dengan menggunakan sejumlah modal tertentu.
Rasio profitabilitas menggambarkan efisiensi usaha perusahaan dan berkaitan dengan kebijaksanaan dan keputusan yang diambil sehingga profitabilitas dapat dibedakan menjadi :
a.  Profitabilitas Ekonomis
Modal yang digunakan tidak dibedakan apakah itu modal sendiri atau modal asing dan efisiensi perusahaan tercermin dalam perusahaan secara keseluruhan. Profitabilitas ekonomis mencerminkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan modal kerja. Profitabilitas yang tinggi merupakan bentuk efisiensi yang tinggi perusahaan karena, akan sulit untuk meningkatkan profitabilitas tanpa meningkatkan efisiensi.
b.  Profitabilitas Modal Sendiri
modal yang digunakan dibedakan antara modal sendiri dengan modal asing dan efisiensi perusahaan tercermin pada penggunaan modal sendiri. Dengan profitabilitas modal sendiri, pemilik akan mengetahui berapa tingkat keuntungan yang akan diperoleh dengan modal yang ditanamkan  sehingga pemilik dapat menetapkan apakah akan menaikkan modal asing, modal sendiri, kontribusi keduanya atau tidak untuk menambah modal.
Profitabilitas dapat digambarkan dengan beberapa angka macam bandingan, yaitu :
1)  Profit Margin Ratio (PMR)
Ratio ini menunjukkan besar kecilnya laba dibandingkan dengan harga penjualan.
a.  Gross Profit Margin (GPM)
GPM  = gross profit  X  100%
           sales
Laba Bruto  = penjualan bersih – harga pokok barang yang terjual
b.  Net Profit Margin (NPM)
NPM  = net profit   X  100%
           sales
Laba Bersih = laba bruto – (biaya-biaya, bunga dan pajak)
2)  Earning Power Ratio (EPR)
Ratio laba dasar yang bermanfaat untuk membandingkan perusahaan-perusahaan dengan tingkat leveable dan pajak yang berbeda.
EPR  =    E B I T      X  100%
        total assets
Ebit   = laba sebelum bunga dan pajak
3)  Return on Assets Ratio / Return on Invesment (ROI)
ROI dipakai untuk membandingkan perbedaan kemampuan memperoleh laba pada perusahaan yang memiliki kebijakan hutang yang berbeda.
ROI  =   net profit    X  100%
        total assets
4)  Return on Equity Ratio (ROE)
ROE dipakai untuk menggambarkan hasil yang diperoleh pemilik modal.
ROE  = net profit   X  100%
         capital
modal yang dimaksud adalah modal sendiri yang terdiri atas modal saham nominal, laba ditahan, penyertaan modal baru dan semua hal yang menunjukkan keterlibatan pemilik.
Setiap perusahaan pasti menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga banyak upaya yang dilakukan untuk mencapainya, antara lain :
a.    menaikkan penjualan bersih
b.    menurunkan penjualan bersih dengan harapan biaya operasi akan turun lebih banyak atau lebih besar
c.    menaikkan penjualan bersih yang lebih tinggi dari kenaikan biaya operasi
d.    menaikkan keuntungan dengan perputaran aktiva.
Dengan perhitungan di atas, perusahaan akan dapat mengetahui bagaimana kondisi keuangan perusahaan, kondisi kas yang ada. Apakah persediaan kas yang mereka miliki bisa menjamin likuiditas usaha dan sekaligus dapat mencapai profitabilitas yang optimal. Likuiditas dan profitabilitas dalam suatu usaha merupakan hal yang harus terpenuhi bila perusahaan menginginkan usahanya bisa berjalan terus, bahkan bisa berkembang.
C. PENUTUP
Kas sangat berperan dalam pemenuhan kewajiban finansial jangka pendek perusahaan atau untuk membiayai berbagai hal yang sebelumnya tidak diduga akan muncul. Kalau perusahaan tidak menyimpan kas dalam jumlah yang cukup maka perusahaan akan sulit untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya sehingga akibatnya perusahaan akan dinilai buruk dan dinyatakan dalam keadaan tidak likuid. Hal ini akan mempengaruhi citra perusahaan dan menghilangkan kepercayaan pihak lain terhadap perusahaan.
Di lain pihak, menyimpan kas dalam jumlah berlebihan mengakibatkan perusahaan tidak dapat mencapai tingkat profitabilitas yang optimal, yaitu tingkat keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh perusahaan bila perusahaan dapat memanfaatkan kas yang berlebiham itu untuk melakukan aktivitas usah. Kas yang dibiarkan menganggur akan menimbulkan biaya penyimpanan.
Dengan adanya dua kepentingan di atas, terjaganya likuiditas dan profitabilitas usaha sekaligus maka keberadaan persediaan minimum kas yang benar dalam suatu usaha mutlak diperlukan supaya kondisi perusahaan tetap baik (kas yang tersimpan tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar). Disamping itu perlu juga diperhatikan mengenai penggunaan budget kas untuk mengetahui sumber penerimaan kas dan alokasi penggunaannya. Analisis persediaan minimum kas yang benar dapat juga dijadikan sebagai dasar untuk mengambil suatu kebijakan dalam menetapkan persediaan minimum kas sehingga apa yang diharapkan perusahaan dapat tercapai secara maksimal, yaitu terjaminnya likuiditas usaha dan tercapainya profitabilitas perusahaan.



Daftar Pustaka
Riyanto, Bambang, 1994, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada.
Indriyo, 1980, Manajemen Keuangan, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Manullang M., 1985, Pokok-pokok Pembelanjaan Perusahaan – Manajemen Keuangan, Yogyakarta: Liberty.
Wasis, 1984, Manajemen Keuangan Perusahaan, Semarang: Sapta Wacana.
Suryawijaya, Marwan Asri, 1987, Dasar-dasar Ilmu Pembelanjaan, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Nitisemito, Alex S., 1987, Pembelanjaan Perusahaan, Jakarta: Ghalia Indonesia.

s

KEWIRASWASTAAN DI INDONESIA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI


KEWIRASWASTAAN DI INDONESIA
DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI
Oleh : Dyah Kusumawati

ABSTRACT

     National economic growth is influenced by private sectors development in every field. The contribution of private sectors is different between one country to another for its development. It’s depent on the quality of entrepreneurship owened by local society, either is Indonesia. Indonesian entrepreneurship is still has not fully successed yet because of have many resources mainly in human resources, most of them are unskilled and have no strong entrepreneurship spirit.
     These problems are caused more by pshycologic factor basically in mental attitude and minimum need of achievement. Therefore a review study is necessary need to know how to grow the phycology characteristis owened by entrepreneur, transform to common Indonesia society. It attempt to raise develop society potential in entrepreneurship, so that useful to encourage themselves.

Keywords : entrepreneurship, phychology factor

A. PENDAHULUAN
     Kita ketahui bersama bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat dipengaruhi adanya peran swasta. Di sini peran swasta meliputi berbagai macam bidang yang pada dasarnya adalah penggabungan antara pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Diantara dua macam sumber daya itu faktor manusia memegang peranan penting karena setiap proses kegiatan ekonomi mulai dari pengumpulan bahan mentah sampai dengan pemasaran hasil-hasil produksi dibutuhkan hadirnya seorang atau sekelompok orang yang akan melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Besar kecilnya sumbangan sektor swasta dalam pembangunan perekonomian masyarakat antara negara yang satu dengan negara yang lain sering berbeda-beda tergantung pada kualitas kewiraswastaan yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.
     Pertumbuhan kewiraswastaan dari masing-masing masyarakat tidak selalu sama karena adanya perbedaan faktor yang mendasarinya misalnya faktor ekonomi, sosial, politik, budaya maupun sejarah. Di lingkungan masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, sektor swasta sering menghadapi situasi yang rumit karena banyaknya keterbatasan dan hambatan untuk tumbuh sesuai dengan kondisi tradisional yang sering dialami oleh masyarakat sedang berkembang pada umumnya.
     Pengertian mengenai siapa wiraswasta atau wirausaha itu, banyak orang yang mengidentikkan dengan pengusaha kecil, ada yang mengartikan sebagai perusahaan, ada yang mengartikan sebagai orang yang memadukan berbagai unsur produksi, yang menciptakan produk baru, yang berani mengambil resiko dan lain sebagainya. Kenyataan menunjukkan bahwa di segala bidang bisnis sekarang manusia dituntut untuk mempunyai mental wiraswasta. Mengapa demikian? Untuk menjadi seorang wiraswastawan yang sejati dituntut sikap dan tingkah laku prestatif serta jiwa mandiri yang kuat. Hal ini tidak mudah karena proses sosialisasi orang Indonesia pada umumnya dan orang Jawa pada khususnya meletakkan pentingnya hubungan dengan orang lain sehingga menumbuhkan sikap mental yang lebih tergantung pada koneksi daripada rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Rasa kolektifitas dan rasa ewuh pakewuh yang tinggi adalah sifat yang biasanya dimiliki orang Indonesia terutama suku Jawa yang bisa menjadi kontras dengan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang wiraswasta. Rasa ketergantungan ini bukan saja pada perorangan tetapi juga sampai pada bentuk organisasi seperti halnya perusahaan-perusahaan swasta, koperasi, Bank dan lain-lain yang masih tergantung dengan kebijaksanaan dan subsidi dari pemerintah. Itulah sebabnya menjadi tanda tanya besar mengapa Indonesia yang nota bene adalah negara yang luas wilayah perairan dan daratannya, kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia masih tergolong negara yang mempunyai jumlah wiraswastawan yang masih sangat terbatas, jauh berbeda dengan kondisi yang dimiliki oleh negara Jepang. Ternyata keterbatasan ini lebih berkaitan dengan sikap mental para wiraswasta di Indonesia.
     Itulah sebabnya dalam tulisan ini akan dibahas tentang bagaimana kewiraswastaan di Indonesia dilihat dari sudut pandang psikologi mengingat bahwa ternyata faktor psikologi menjadi salah satu faktor penting yang harus dimiliki seorang wiraswasta.


B. PEMBAHASAN
1. Kewiraswastaan
  Memiliki usaha sendiri yang berhasil, uang akan mengalir sebagai keuntungan usaha tanpa harus bekerja keras seperti pegawai adalah idaman setiap orang. Namun, apakah hanya bermodalkan uang dan keberanian untuk memulai usaha saja yang diperlukan untuk bisa menjadi wiraswasta yang sukses? Ternyata tidak, berdasarkan pengalaman wiraswastawan ternyata faktor penting dalam membangun usaha adalah sikap mental wiraswastawan itu sendiri. Karakter dari seorang calon wiraswastawan sangat mewarnai jalannya usaha dan bahkan sangat menentukan kehidupan usahanya.
     Sering kita dengar ucapan masyarakat yang kurang enak “Dasar keturunan orang dagang, kalau berbisnis pasti maju” atau “Iya saja sukses, wong bapaknya pejabat, modal ada, fasilitas ada”. Sepertinya wiraswasta yang sukses identik dengan keturunan, modal besar atau fasilitas-fasilitas orang tua. Padahal kalo kita mau sedikit introspeksi diri dan melihat secara obyektif tentang kesuksesan seorang wiraswasta kemajuan usaha seseorang sebenarnya tergantung pada sikap mental yang dimilikinya. Istilah wiraswasta merupakan terjemahan dari kata entrepreneur, namun pengertiannya berbeda meskipun keduanya memiliki konsep dalam perilaku yang hampir sama. Menurut Mc Clelland seorang entrepreneur adalah seorang yang menerapkan kemampuannya untuk mengatur, menguasai alat-alat produksi dan menghasilkan hasil yang berlebihan yang selanjutnya dijual atau ditukarkan dan memperoleh pendapatan dari usahanya tersebut. Sedangkan menurut Schumpeter yang disebut dengan seorang entrepreneur adalah seseorang yang menggerakkan perekonomian masyarakat untuk maju ke depan. Ini berarti meliputi koordinasi pengelolaan penanaman modal dan sarana produksi, keberanian mengambil resiko, pemanfaatan fungsi faktor-faktor produksi atau respon yang kreatif dan inovatif.
     Menurut Iman S. Sukardi pengertian wiraswastaan menunjuk pada kepribadian tertentu yaitu pribadi yang mampu berdiri di atas kekuatan sendiri. Manusia yang mampu berdiri di atas kekuatan sendiri berarti mampu mengambil keputusan untuk diri sendiri, mampu menetapkan tujuan yang ingin dicapai atas dasar pertimbangannya sendiri sehingga bisa dikatakan bahwa wiraswastaan adalah orang yang merdeka lahir dan batin.
     Pengertian wiraswasta mirip dengan entrepreneurship namun berbeda dari segi falsafahnya. Entrepreneurship merupakan konsep yang timbul dari dunia barat dengan falsafah hidup individualisme sedangkan kewiraswastaan didasarkan pada falsafah hidup bangsa Indonesia yang sosialistis, yaitu menekankan pada keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara individu yang bersangkutan dengan masyarakat. Seperti pendapat dari Sri Edi Swasono bahwa seorang wiraswasta itu tidak sama dengan seorang entrepreneur atau pengusaha karena pengusaha belum tentu wiraswasta.Dalam hal ini seorang wiraswasta lebih dimotivasi oleh adanya keinginan berprestasi daripada hanya sekedar mengejar keuntungan semata. Ia tidak akan mudah putus asa akan prestasinya tetapi selalu mencari cara baru dan produksi baru hingga tercapai perkembangan usahanya.
     Sebenarnya dari pengertian kata wiraswasta itu sendiri kita dapat menemukan cirri-ciri atau tingkah laku yang minimal harus dimiliki seorang wiraswasta. Wiraswasta berasal dari tiga kata yaitu wira yang berarti luhur, berani, ksatria; swa yang berarti sendiri; dan sta yang berarti berdiri sendiri (Netti T dan Elang IM, 2008 : 20). Jadi kalau kita amati ciri utama wiraswasta adalah berbudi luhur  dan mandiri artinya wiraswastawan yang bersikap mental positiflah yang memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dan biasanya usaha yang ditanganinya lebih bersifat langgeng . Mereka tidak akan mendapatkan kepercayaan dari mitra usaha atau pelanggan bila tidak jujur. Sifat wiraswasta selalu ingin mewujudkan hidup secara mandiri dengan watak yang luhur. Orang yang bersikap mental baik akan selalu bekerja dengan rajin tanpa harus diperintah dan konsisten dengan apa yang dikerjakan, punya keinginan untuk berprestasi, bertanggungjawab, berani mengambil resiko dan keyakinan akan keberhasilan usahanya.
     Dari pendapat beberapa ahli tentang wiraswastaan dapat diambil kesimpulan bahwa seorang wiraswasta adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan sikap mandiri, kreatif, inovatif, ulet, berpandangan jauh ke depan, pengambilan resiko yang sedang dan tanpa mengabaikan kepentingan orang lain dalam bidangnya atau masyarakat.

2. Kewiraswastaan di Indonesia
     Kita tahu bahwa sumber daya manusia Indonesia sangatlah besar dan merupakan modal dasar pembangunan yang sangat penting namun pada kenyataannya kualitas masyarakatnya tidak begitu menggembirakan. Perlu diketahui bahwa jumlah wiraswastawan di Indonesia masih sangat terbatas yaitu baru mencapai 0,001 persen dari jumlah penduduk yang berjiwa wiraswasta padahal untuk pembangunan suatu negara pada dasarnya dibutuhkan 2 persen dari jumlah penduduk yang berjiwa wiraswasta. Kecilnya jumlah wiraswasta ini antar lain disebabkan karena etos kerja yang kurang menghargai kerja keras, kondisi lingkungan ekonomi baik pada masa penjajahan maupun sesudah kemerdekaan dengan segala konsekuensinya dalam masyarakat. Di samping hal tersebut ada yang lebih penting yaitu sikap mental wiraswasta.
     Mengenai sikap mental wiraswastawan dijelaskan oleh Mattulada yang cukup dianggap mewakili kondisi masyarakat Indonesia yaitu :
  1. Tanggapan terhadap waktu
Sikap mental yang mendukung kewiraswastaan adalah sebanyak mungkin aktivitas hidupnya itu berorientasi ke masa depan. Nampaknya orientasi ke masa depan belum begitu berkemnbang dalam mentalitas orang Indonesia.
  1. Tanggapan terhadap hakekat hidup
Dalam menghadapi hidup orang harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dan unsur yang mendorong upaya kearah kebahagiaan. Sikap mental semacam ini nampaknya masih kurang dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Orang masih sering memberikan tanggapan pasif terhadap kehidupan terutama mengenai konsep rejeki yuang dapat datang tanpa usaha yang keras.
  1. Tanggapan terhadap hubungan dengan sesama manusia
Sikap mental yang dipandang mendorong terjadinya kemajuan dalam masyarakat adalah sikap mental yang berorientasi kepada sesamanya yaitu menilai tinggi unsur kerja sama dengan orang lain tanpa meremehkan kualitas individu dan tanpa menghindari tanggung jawab sendiri. Di Indonesia masalah kerja sama ini yang masih harus diupayakan sebab kadangkala mengandung aspek negatif yang mengarah ke kualitas individu (kerja sama ke arah yang negatif).
  1. Tanggapan terhadap kerja
Sebagian masyarakat Indonesia masih menunjukkan sikap mental yang hanya mementingkan kerja untuk kedudukan dan prestise saja. Sikap yang demikian ini jelas tidak mendukung kemajuan suatu bangsa karena ada kecenderungan meremehkan kualitas sehingga kurang tabah dan ulet.
  1. Tanggapan terhadap alam
Sikap mental yang mendorong keinginan orang untuk menguasai alam beserta isinya dipandang sebagai sikap mental yang dapat mengembangkan kemajuan dalam masyarakat.
     Sesudah revolusi kemerdekaan Indonesia tumbuh beberapa sifat kelemahan dalam mentalitas orang Indonesia. Sifat kelemahan ini bersumber pada kehidupan yang penuh keragu-raguan, kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas. Bahkan menurut Mochtar Lubis dalam bukunya ”Manusia Indonesia , Sebuah Pertanggungjawaban” berpendapat bahwa manusia Indonesia memiliki cirri-ciri sebagai berikut : munafik/ hipokrit, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya tahayul, artistik, punya watak yang lemah, tidak hemat dan tidak suka bekerja keras.
     Khusus mengenai sikap hidup orang Jawa  dapat dikatakan sebagai sikap hidup priyayi yang erat sekali hubungannya dengan struktur feodal. Salah satu ciri dari sikap hidup tersebut adalah rasa hormat bagi pangkat dan derajat serta bagi semua orang yang dinilai lebih menurut kedudukannya dalam masyarakat. Konsekuensinya adalah kedudukan dan pangkat dipandang lebih penting daripada keahlian dan ketrampilan. Mentalitas priyayi lebih memandang white-collarjob sebagai hal yang diidam-idamkan sedangkan pekerjaan tangan dianggap sebagai nasib yang malang. Ini berarti etos kerjanya kurang menghargai keluarnya keringat. Sikap mental inilah yang harus segera diubah atau paling tidak disesuaikan dengan tuntutan situasi yang semakin maju dan berkembang.
     Sebenarnya pemerintah Indonesia telah banyak memberikan peluang dan dorongan kepada wiraswastawan agar lebih mampu berperan dalam pembangunan nasional. Namun sekarang tinggal bagaimana kemauan dan kemampuan wiraswastawan untuk tanggap dan bisa menangkap peluang-peluang itu. Sikap mental nampaknya masih perlu mendapat perhatian khusus seperti sikap mengambil keuntungan jangka pendek, cepat merasa puas, sikap anti resiko dan sikap-sikap lain yang tidak mendukung perlu diubah menjadi sikap-sikap yang positif.
3. Wiraswastawan yang berhasil
Di dalam tulisan ini pembahasan akan difokuskan pada pandangan psikologi dari masalah pengembangan kewiraswastaan yang artinya pembahasan akan menitikberatkan pada segi aktifitas manusia. Kita ketahui bersama bahwa setiap manusia dikaruniai oleh Tuhan bermacam-macam potensi namun menurut para ahli banyak diantaranya yang belum digunakan atau dikembangkan sehingga produktivitas dan efisiensi yang diharapkan tidak dapat dicapai.
Seorang wiraswastawan yang berhasil ternyata mempunyai karakteristik psikologi tertentu (Moh. As’ad, 2008: 147) yaitu :
a. Seorang yang supel dan fleksibel dalam bergaul, mampu menerima kritik dan mampu melakukan komunikasi yang efektif dengan orang lain.
b. Seseorang yang mampu memanfaatkan kesempatan usaha yang ada.
c. Seseorang yang berani mengambil resiko yang telah diperhitungkan atas hal-hal yang akan dikerjakan.
d. Seseorang yang mempunyai pandangan ke depan , cerdik, lihai, dapat menanggapi situasi yang berubah –ubah serta tahan terhadap situasi yang tidak menentu.
e. Seseorang yang dengan oto-aktivitasnya mampu menemukan sesuatu yang orisinil dari pemikirannya sendiri dan mampu menciptakan hal-hal baru serta kreatif.
f. Seseorang yang mempercayai kemampuan diri sendiri, dapat bekerja mandiri, optimis dan dinamis serta mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.
g. Seseorang yang mampu dan menguasai berbagai pengetahuan dan ketrampilan dalam menyusun, menjalankan dan mencapai tujuan organisasi usaha, manajemen umum dan pengetahuan lain yang menyangkut dunia usaha.
h. Seseorang yang memiliki motivasi yang kuat untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik, mengutamakan prestasi, memperhitungkan faktor penghambat dan faktor penunjang, tekun, bekerja keras, teguh dalam pendirian dan disiplin tinggi.
i. Seseorang yang memperhatikan lingkungan sosial untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik bagi semua orang.
     Menurut Gerart Heymans, seorang professor bangsa Belanda hasil penelitiannya tentang macam-macam tipe manusia ternyata salah satunya adalah sifat yang sesuai dengan karakteristik seorang wiraswastawan (Ahmad Fauzi, 2004 : 125) yaitu flegmaciti yang berarti manusia yang mempunyai tipe selalu bersikap tenang, sabar, tekun bekerja, tidak mudah putus asa, berbicara singkat tapi mantap, berpandangan luas, berbakat matematik, senang membaca dan memiliki ingatan yang baik. Biasanya manusia ini rajin dan cekatan serta mampu berdiri sendiri tanpa memerlukan banyak bantuan orang lain.
     Sebagai seorang wiraswastawan yang berhasil pada umumnya mempunyai dorongan atau motivasi berprestasi yang tinggi. Hal ini dibuktikan oleh David Mc Clelland di India terhadap para pedagang. Motif berprestasi atau need for achievement adalah dorongan yang ada pada diri individu untuk mencapai kesuksesan, melebihi prestasinya di masa lalu dan juga melebihi prestasi orang lain (Moh. As’ad, 2008 : 149). Individu yang mempunyai motif untuk berprestasi yang tinggi cenderung memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, bertanggung jawab, selalu berusaha mencapai hasil yang baik, aktif dalam kehidupan sosial, cenderung memiliki teman yang ahli dan tahan terhadap tekanan-tekanan dalam masyarakat. Tanggung jawab di sini berarti bahwa keberhasilan yang dicapai bukan karena bantuan orang lain atau karena faktor keberuntungan tetapi benar-benar hasil kerja keras dirinya sendiri. Di samping itu di dalam bekerja mereka selalu memperhitungkan resiko. Mereka cenderung tidak suka melakukan hal-hal yang dianggap mudah karena dianggap tidak menantang atau tidak mendatangkan kepuasan tetapi mereka juga tidak mau mengerjakan hal-hal yang sulit karena kemungkinan  gagal akan besar. Jadi mereka berani menanggung resiko yang telah diperkirakan dapat mereka atasi. Wiraswastawan sejati bukanlah orang yang bermain judi atau main tebakan tetapi mereka selalu membuat perhitungan dengan teliti dengan probabilitas 50:50 atau tidak jauh dari perhitungan itu.

C. PENUTUP
     Walau wiraswastawan atau pengusaha identik dengan kekayaan materi namun bagi wiraswastawan sejati uang bukan tujuan utama. Mereka lebih mengutamakan prestasi dan hasil yang diperoleh bukan saja berupa uang. Uang bagi wiraswastawan sejati hanya sebagai lambang konkret tercapainya tujuan. Keberhasilan mendapatkan uang banyak tidak berarti berhasil dalam berwiraswasta. Uang atau kekayaan materi bisa didapatkan dari mencuri, korupsi atau perbuatan tercela lainnya. Kewiraswastaan lebih cenderung menggambarkan bagaimana seorang wiraswastawan menciptakan usaha yang tadinya tidak ada menjadi ada, menjalankan usaha dengan baik dan usaha itu menjadi berkembang. Di sini berarti bukan hasil yang penting tetapi proses usaha dari nol sampai sukses tercapai yang disebut sebagai suatu  prestasi.
     Sementara itu di Indonesia justru kemampuan untuk berprestasi masih menjadi sesuatu yang langka yang dimiliki oleh para wiraswastawan. Untuk menjadi wiraswastawan yang handal masih banyak yang perlu diketahui, dipahami dan diterapkan pada diri mereka terutama mengenai sikap mental atau kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang wiraswastawan sejati. Di sini dituntut suatu keberanian untuk memulai dan tekad bahwa saya pasti bisa.  
     Dari uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya faktor psikologi, yang dalam hal ini adalah sikap mental  terutama peran kebutuhan untuk berprestasi mempengaruhi sikap dan kinerja seorang wiraswastawan disamping kebutuhan lain seperti kebutuhan menjalin persahabatan atau relasi dan kebutuhan akan kekuasaan atau mempengaruhi orang lain. Kebutuhan berprestasi akan mendorong tingkah laku yang bersangkutan untuk mencapai tingkat keberhasilan sesuai dengan yang diinginkan dalam bidang yang ditekuni. Kebutuhan berprestasi juga mendorong seseorang untuk berbuat lebih baik dan sukses dalam mencapai karier.












Daftar Pustaka
As’ad, Moh. 2008. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Fauzi, Ahmad. 2004. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Tinaprilla, Netti dan Martawijaya, Elang Ilik. 2008. Punya Bisnis Sendiri Itu Nikmat. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.